Ucapan dan gerakan spontan akibat kelainan saraf oleh penderita sindrom Tourette sungguh menyiksa. Penderita terlihat selalu berisik dan tidak pernah tenang sehingga banyak orang tidak tahan berdekatan dengan mereka.
Akibatnya, banyak dari penderita sindrom Tourette yang sulit bergaul dan seperti terasing dari lingkungannya. Penderita sindrom Tourette sering mendapat cap anak aneh karena ucapan dan gerakan spontan yang terjadi berulang-ulang.
Kalangan sineas di Holywood juga pernah mengangkat kisah hidup penderita sindrom Tourette yang penuh perjuangan dalam film Front of The Class. Sindrom Tourette adalah kelainan pada saraf yang berciri khas pengulangan (repetitif), stereotip, pergerakan yang tidak disengaja, dan biasanya disebut dengan saraf yang tidak sadar (tics). Sindrom Tourette terjadi pada orang-orang dari semua kelompok etnis.
Contoh anak sindrom Tourette terlihat dari sering mengedipkan mata, mengalami ketegangan leher, mengangkat bahu terus menerus, kedutan pada wajah, mendecak lidah, latah dengan mengeluarkan kata-kata yang didengarnya bahkan kata-kata kotor. Sindrom tourette merupakan bagian dari tics disorder. Sindrom Tourette bisa terjadi pada siapa saja dan dari golongan manapun. Sindrom tourette ini berhubungan dengan tics. Tics adalah gerakan motorik dan vokalisasi yang berulang, tiba-tiba dan sering. Tics bisa terjadi jika seorang anak stres atau terlalu fokus pada suatu kegiatan seperti membaca atau menjahit.
Psikolog perkembangan anak di Yayasan Kita & Buah Hati Rahmi Dahnan Psi mengatakan tics motorik yang sederhana dan umum terjadi seperti sering mengedipkan mata, ketegangan leher, mengangkat bahu, kedutan pada wajah, dan batuk.
Sedangkan tics vokalisasi yang umum seperti berdeham. Sedangkan tics motorik yang kompleks adalah mimik wajah, sering melakukan hal yang sebenarnya tidak perlu seperti memperbaiki posisi badan, lompat, mencium barang.
"Untuk vokalisasi kompleks seperti mengulang kata-kata, latah (echolalia), corpolalia (berteriak keras)," jelas Rahmi ketika dihubungi detikhealth.
Berdasarkan studi oleh National Survey of Children's Health seperti dilansir dari healthDay, dari April 2007-Juli 2008, para peneliti menemukan bahwa anak laki-laki lebih mudah terkena sindrom tourette dibandingkan anak perempuan. Dan pada umumnya anak-anak usia 12-17 tahun dua kali lipat lebih mudah terkena dibandingkan usia 6-12 tahun.
Sekitar 27% anak-anak menderita sindrom tourette sedang, dan 79% anak-anak dengan kondisi memiliki setidaknya satu masalah perkembangan saraf. Dan anak kulit putih dua kali lipat terkena sindrom tourette dibandingkan dengan anak kulit hitam atau anak Hispanic.
Rahmi menjelaskan ada 5 kriteria yang bisa digunakan untuk mendiagnosis sindrom tourette yaitu:
- Jika terdapat satu atau lebih motor dan vokal tics,
- Motor atau vokal tics tersebut terjadi beberapa kali dalam satu hari dan berulang hampir setahun atau lebih.
- Menyebabkan ketidaknyamanan bagi anak tersebut.
- Kejadian ini muncul sebelum berumur 18 tahun.
- Dan tics ini tidak disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan.
Untuk memastikannya lagi bisa melakukan pemeriksaan neuroimaging studi, seperti magnetis resonansi imaging (MRI), komputerisasi Tomography (CT), dan electroencephalogram (EEG) scan, atau tes darah tertentu.
Banyak pasien yang didiagnosis setelah diri mereka, orang tua, sanak keluarga lainnya, atau teman-teman membaca atau mendengar tentang sindrom tourette dari yang lain.
"Prevalensi penderita sindrom tourette di dunia sekitar 4-5 orang diantara 10.000 orang, sindrom ini paling cepat terjadi pada anak-anak usia 2 tahun, untuk motoriknya pada usia 7 tahun," ujar psikolog lulusan psikologi UI tahun 1990 ini.
Akibat dari sindrom tourette ini mengakibatkan kerusakan disfungsi dibidang akademis, sosial dan menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang besar pada penderitanya.
Meskipun penyebabnya tidak diketahui, saat ini penelitian lebih difokuskan ketidaknormalan otak di daerah tertentu (termasuk pada dasarnya ganglia, frontal lobes, dan lapisan luar).
Di daerah yang interkoneksi dengan wilayah ini, dan neurotransmitters (dopamine, serotonin, dan norepinephrine) yang bertanggung jawab untuk komunikasi antar sel syaraf. Namun, saat ini diperkirakan penyebab sindrom tourette ini karena faktor genetik.
Psikoterapi juga dapat membantu orang dengan sindrom Tourette agar lebih baik dalam menangani kekacauan dan menangani kedua masalah sosial dan emosional yang kadang-kadang terjadi.
Psikolog Rahmi menyarankan agar jangan mengucilkan penderita sindrom tourette. Buatlah dia merasa nyaman, kembangkan kepercayaan dirinya, dan yakinkan mereka bahwa mereka juga pasti memiliki kelebihan lain yang dapat mereka banggakan.
Tidak ada tes darah atau tes laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa, tapi neuroimaging studi, seperti magnetis resonansi imaging (MRI), komputerisasi Tomography (CT), dan electroencephalogram (EEG) scan, atau tes darah tertentu.
Karena gejala tic sering tidak menyebabkan perusakan, sebagian besar orang dengan Sindrom Tourette tidak memerlukan obat-obatan.
Namun, obat yang efektif yang tersedia bagi mereka yang terganggu dengan gejala berfungsi. Sayangnya, tidak ada satu obat yang berguna untuk semua orang dengan Sindrom Tourette, dan tidak ada obat yang benar-benar menghilangkan gejala.
Selain itu, semua obat ada efek samping. Efek samping dapat dikurangi dengan melakukan perawatan perlahan mengurangi dosis dan efek samping bila terjadi.
Efek samping pada antipsikotik bisa termasuk gejala-gejala serupa pada penyakit Parkinson (parkinsonism), gelisah, otot kaku, kontraksi otot tanpa sengaja yang terus-menerus (dystonias), pertambahan berat badan, pandangan buram, tidak bisa tidur, dan bosan, lambat berpikir.
Sumber Detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar